Minggu, 29 Juni 2008

APEM ANALISIS PURBALINGGA

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Negara Indonesia mempunyai sumber daya alam yang merimpah ruah, mulai dari Kepulauan Sumatera yang notabene kaya akan aspal, minyak bumi, timah dan sebagainya. Begitupun dengan wilayah ujung Timur Indonesia yang notabene menjadi sumber kekayaan negara lain yaitu emas. Papua lebih tepatnya memiliki sumber emas (gunung emas) terbanyak di seantero bumi ini. Sumber daya alam tersebut seharusnya menjadi sebuah senjata yang ampuh untuk menjadikan negara Indonesia menjadi jauh lebih maju dari sekarang. Negara yang maju dengan kesejahteraan rakyat yang diutamakan seperti yang sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
Tidaklah salah jika semua sumberdaya alam (eksplorasi) yang melimpah ruah tersebut dimanfatkan negara untuk pembangunan. Sumberdaya alam tersebut jika dijadikan sebagai modal dasar pembangunan akan lebih berdaya guna dan pastilah akan berhasil guna. Pembangunan seperti itu membutuhkan peran serta administrasi pembangunan dalam menjadikan pembangunan akan lebih berhasil dan pastinya tepat pada sasaran. Adminsitrasi pembangunan dibutuhkan karena adanya kebutuhan di negara – negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga – lembaga dan pranata – pranata sosial, politik, dan ekonominya, agar pembangunan dapat berhasil (Kartasasmita,1998). Dengan demikian adminsitrasi pembangunan dibutuhkan untuk mengembangkan lembaga-lembaga agar pembangunan di Indonesia dapat berhasil.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh adminsitrasi pembangunan untuk dapat menjadikan Indonesia membangun dalam segi positif adalah sebuah konsep bernama privatisasi. Privatisasi dibutuhkan terutama untuk negara-negara yang belum dapat mengelola lembaga pembangunannya menjadi baik. Privatisasi menurut Savas (Privatization, The Key to Better Government,1987) memberikan definisi privatisasi sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya dalam aktivitas yang menyangkut kepemilikan atas aset-aset. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Butler (1991), yaitu bahwa privatisasi adalah pergantian fungsi dari sektor publik menuju sektor swasta, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Sebagai sebuah konsep, privatisasi sebenarnya adalah upaya dari pemerintah untuk dapat memberikan efisiensi lembaganya untuk mengelola pembangunan. Privatisasipun telah dilakukan di negara ini, Indonesia. Indonesia mengembangkan konsep privatisasi atas dasar ketidakefisienan lembaga usaha milik negara. privatisasi BUMN pada dasarnya didorong dua motivasi. Pertama, keinginan menaikkan efisiensi karena buruknya kinerja sebagian BUMN, dan Kedua, secara empiris dapat dibuktikan, privatisasi BUMN bisa dimaksudkan untuk membantu anggaran pemerintah dari tekanan defisit (Prasetyiono,2005).
Privatisasi sebetulnya merupakan konsep yang telah lama terjadi di dunia ini, di awali dengan pemikiran Perdana Menteri Inggris, Margaret Teacher tahun 1979, mereka menggunakan hasil privatisasi BUMN top (British Airways, British Telecom, dan British Gas) untuk mengatasi krisis fiskal atau defisit anggaran (Iekenberry, 1990). Contoh lain privatisasi adalah apa yang dilakukan oleh Australia Perdana Menteri John Howard getol ingin segera menjual 51 sahamnya di Telstra karena hasilnya diperkirakan mencapai 30 miliar dollar Australia (setara Rp 230 triliun). Howard berencana mengalokasikan dana ini untuk membangun berbagai fasilitas umum. Ini sebenarnya merupakan bentuk lain dari upaya untuk membantu anggaran pemerintah federal Australia, yang dalam kasus Indonesia bersifat lebih spesifik berupa defisit anggaran (lop.cit: 2).
Kini, pemerintahan Indonesia pun melakukan hal yang serupa yaitu privatisasi badan usaha milik negara (BUMN) dengan dalih untuk efisiensi lembaga negara yang berujung pada keinginan untuk pembangunan yang berhasil.

B. Perumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas, perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah implementasi privatisasi BUMN di Indonesia dalam kaitannya dengan keberhasilan pembangunan?


C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah impelmentasi privatisasi BUMN di Indonesia dalam kaitannya dengan keberhasilan Pembangunan?
2. Manfaat Penulisan.
Manfaat yang dapat diperoleh ari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Manfaat yang diperoleh adalah adanya khasanah ilmu baru untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang telah ada, dapat pulan dijadikan sebuah referensi informasi dalam kaitannya dengan imu adminsitrasi pembangunan.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diambil adalah sebagai bahan masukan bagi penyelenggara negara untuk memikirkan masak-masak keputusan yang akan diambil.

















BAB II
PEMBAHASAN



A. Kondisi BUMN di Indonesia
(oleh: Setyanto P. Santosa tahun 2007)
Kondisi BUMN yang karena menghadapi masalah keterbatasan dana internal, menjadi sangat bergantung kepada dana luar negeri. Sementara itu, untuk memperoleh dana luar negeri, BUMN harus menempuh prosedur rumit dan biaya yang tinggi. Akibatnya investasi sarana dan prasarana produksi barang dan jasa menjadi sangat terbatas, sehingga produktivitas,pendapatan, dan kualitas produk yang dihasilkan BUMN tersebut menjadi rendah.Hal ini menyebabkan BUMN tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumen atau bersaing di pasar. Arus kas (cash flow) yang dimiliki dan laba yang dihasilkan pun sangat kecil, bahkan terkadang negatif. Di lain pihak, keterbatasan investasi untuk mengganti peralatan yang aus dan tidak produktif mengakibatkan beban hutang dan biaya modal semakin tinggi. Kondisi ini diperburuk dengan inefisiensi pengoperasian perangkat usaha yang telah berusia tua tersebut.Pro-Konta Privatisasi Implementasi Privatisasi BUMN di Indonesia.
Berbagai permasalahan yang dihadapi BUMN menjadi makin berat dengan adanya berbagai permasalahan eksternal seperti: (1) lemahnya nilai tukar mata uang rupiah; (2) tingkat inflasi yang tinggi; (3) neraca perdagangan yang tidak seimbang; (4) resiko politik; (5) peraturan yang tidak stabil; dan (6) kurangnya tekanan untuk melakukan kegiatan secara lebih efisien atau meningkatkan kemampuan teknologi. Kesemuanya itu menjadikan permasalahan BUMN ibarat lingkaran yang tidak berujung pangkal (viciousfunding cycle).
Sesungguhnya pemerintah Indonesia sejak awal orde baru telah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdiri dari dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Prinsip-prinsip pengelolaan BUMN tersebut diatur melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara menjadi Undang- Undang.
Pasca Reformasi, pengelolaan BUMN diatur dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 mengenai: (1) penataan BUMN secara efisien, transparan dan profesional; (2) penyehatan BUMN yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (3) mendorong BUMN yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum untuk melakukan privatisasi di pasar modal. Untuk melaksanakan TAP MPR tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang peraturan pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri.
Meskipun peraturan perundangan yang diterbitkan oleh pemerintah bertujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, baik bagi badan usaha milik pemerintah maupun swasta, namun dalam prakteknya, BUMN banyak mendapatkan peluang untuk monopoli. Monopoli yang diberikan kepada BUMN, menjadikan BUMN yang bersangkutan tidak memiliki daya saing global. Padahal, globalisasi dan pasar bebas menantang manajemen BUMN untuk melakukan beberapa kebijakan stratejik dalam rangka menciptakan efisiensi operasi perusahaan.
Upaya-upaya yang dilakukan diantaranya meliputi restrukturisasa usaha, pengurangan jumlah karyawan, sistem pengendalian manajemen, dan beberapa kebijakan stratejik lainnya. Salah satu alternatif untuk menciptakan efisiensi dan menumbuhkan daya saing perusahaan adalah dengan melakukan penjualan sebagian kepemilikan atau pengalihan kendali perusahaan kepada pihak swasta melalui privatisasi.
Salah satu manfaat nyata yang bisa dihasilkan dari privatisasi adalah terlaksananya prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate governance), yang meliputi transparansi, kemandirian, dan akuntabilitas. Prinsip- prinsip tersebut merupakan prakondisi untuk meningkatkan kinerja badan usaha dan merupakan kunci keberhasilan menciptakan lingkungan bisnis yang sehat. Melalui penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dalam pengelolaan badan usaha, diharapkan semua pihak akan memiliki acuan yang sama dalam pengelolaan usaha.
Memasuki era globalisasi, beberapa BUMN yang telah melakukan perbaikan manajemen, khususnya efisiensi operasi, mampu menghadapipersaingan pasar. Langkah perbaikan yang dilakukan meliputi restrukturisasiusaha, pengurangan jumlah karyawan, penerapan sistem pengendalian manajemen, dan kebijakan strategis lainnya. Adapun BUMN yang tidak melakukan perbaikan manajemen, menghadapi berbagai kesulitan, terutama finansial. Sebagian BUMN mengalami kekurangan likuiditas bahkan untukmenjalankan kegiatan rutin merekapun menghadapi permasalahan ini.
Guna mengatasi permasalahan yang dihadapi, sekaligus memperluas skala usaha agar mencapai skala ekonomis, maka langkah yang ditempuh sebagian besar BUMN yang berkinerja buruk adalah meningkatkan hutang perusahaan. Dapat diduga bahwa dengan tetap menjalani operasi dengan biaya tinggi, dan dalam beberapa kasus diperburuk dengan intervensi pemerintah yang berlebihan, maka kinerja BUMN tidak mengalami perbaikan.
Oleh karena itu diperlukan berbagai langkah alternatif untuk mempercepat proses penyehatan BUMN terutama melalui penciptaan nilai (value creation) perusahaan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui: (1) restrukturisasi usaha, keuangan, manajemen, dan organisasi; (2) merger dan akuisisi; (3) kerjasama antar badan usaha; (4) likuidasi, divestasi, dan privatisasi; serta (5) spin-off atau pemisahan kegiatan perusahaan yang bersifat non-core competence dan non-performance businesses.

B. Privatisasi : Pro dan Kontra
Privatisasi menurut Savas (Privatization, The Key to Better Government,1987) memberikan definisi privatisasi sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya dalam aktivitas yang menyangkut kepemilikan atas aset-aset. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Butler (1991), yaitu bahwa privatisasi adalah pergantian fungsi dari sektor publik menuju sektor swasta, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Definisi ini dapat dijadikan tolak ukur yang pro terhadap privatisasi.
Kalangan yang pro bisa jadi menganggap bahwa privatisasi akan mengahasilkan buah manis bagi pemerintah yang menerapkannya. Namun berbeda kalangan, berbeda pula pemikirannya kalangan yang kontra menganggap bahwa privatisasi (Ahmad,2007) adalah pengubahan status kepemilikan pabrik-pabrik, badan-badan  usaha, dan perusahaan-perusahaan, dari kepemilikan negara atau kepemilikan umum menjadi kepemilikan  individu. Privatisasi merupakan salah satu ide dalam ideologi Kapitalisme, yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya pada aspek pengawasan pelaku  ekonomi dan  penegakan  hukum. Di sana kalangan yang kontra kepada privatisasi menganggap bahwa yang seharusnya menjadi milik semua kalangan (umum) digantikan oleh kepentingan pribadi.
Beberapa hal yang menjadi tolak ukur kalangan kontra tentang bahaya privatisasi antara lain, 1) Tersentralisasinya aset pada segelintir individu atau perusahaan besar, 2) Menjerumuskan negara-negara ke dalam cengkeraman imperialisme ekonomi, 3) Menambah pengangguran akibat PHK, dan memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji pegawai, 4) Negara akan kehilangan sumber-sumber pendapatannya, 5) Membebani  konsumen dengan harga-harga yang melambung akibat pajak tinggi atas perusahaan terprivatisasi, 6) Menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non-produktif, 7) Menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum.
Kalangan kontra mungkin benar ataupun salah yang pasti privatisasi akan dilanjutkan karena kita sekarang telah lihat bahwa banyak sekali BUMN yang diprivatisasi. Sebagai contoh adalah Krakatau Steel sebagai industri baja terbesar Indonesia (Okezone.com, 4 Juni 2008).

C. Implementasi Privatisasi di Indonesia
Privatisasi mungkin dapat berarti ganda bagi Indonesia. Momok atau sebuah prestasi. Entah angin apa yang sampai memperkuat bahwa privatisasi harus dijalankan dan terus dilakukan. Privatisasi yang jelas telah mengubah sistem adminsitrsi pembangunan di negeri ini. Sistem yang seharusnya dibentuk oleh pemerintah kemudian diserahkan kepada pihak asing. Sistem lembaga yang ada tidak dapat kita jadikan patokan berhasil.
Dalam segi keefisienan sebuah lembaga mungkin dapat dikatakan berhasil karena telah memberikan kontribusi yang baik bagi lembaga BUMN, namun sebagai sebuah bahaya, privatisasi cenderung akan mengakibatkan kelemahan-kelemahan dikemudian hari. Hal tersebut mengingat adanya pengalihan asset dari pemilika umum kepada pemilikan pribadi. Bagaimana dengan proses pembangunan? Penulis katakan bahwa privatisasi cenderng akan mengganggu pembangunan di negara ini. Pembangunan yang seharusnya lebih ditekankan kepada kepentingan masyarakat dapat rusak oleh prinsif kapitalisme yaitu keuntungan pribadi atau kepentingan segelintir orang. Amanat UUD 1945 Pasal 33 yang menyebutkan bahwa sumber daya yang dimiliki oleh negara digunakan semuanya untuk keprntingan masyarakat akn ternoda.
Bisa jadi bahwa dikemudian hari kita akan mendapati bahwa harga air akan jauh lebih mahal dari sekrang yang masih dikelola oleh pemerintah. Apakah demi sebuah efisiensi dan modernisasi, pembangunan di negara ini akan dikendalikan oleh pasar? Oleh hanya sebagian orang. Lalu sebagian orang yang lain akan seperti apa?
Implementasi privatisasi di Indonesia memang telah berjalan dari tahun 1998, perusahaan-perusahaan milik pemerintah dikelola oleh swasta. Seperti Pertamina, Krakatau Steel, dan masih banyak lagi yang akan di pindah tangankan. Kondisi demikian menyulut banyak orang untuk protes dan tidak setuju, termasuk penulis pribadi. Hal tersebut dikarenakan prinsif dari privatisasi adalah efisiensi perusahaan yang terlalu berlebihan. Hal tersebut berdampak pada perampingan perusahaan dan akibatnya adalah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh BUMN sangat banyak jumlahnya. Akan dikemanakan orang-orang ini? Di buang percuma kah?
Implementasi privatisasipun berdampak besar bagi negara yaitu kerugian yang sangat besar. Penjualan saham Indosat ke Singapura merugikan sangat besar dana negara. Contoh lainnya adalah penjualan Saham semen Gresik ke Cemex Mexico. Kasus penjualan 14 persen saham grup Semen Gresik kepada Cemex (Meksiko), September 1998. Kedua, kasus penjualan 42 persen saham Indosat kepada STT (Singapore Telecom and Telemedia) Desember 2002 (Prasetiantono, 2005). Kontroversi yang terjadi adalah pada semen Gresik pada harga yang tidak fair (terlalu murah) dalam denominasi dollar AS. Hal itu terjadi saat rupiah sedang di level terlalu rendah (undervalued). Pada kasus kedua, kontroversi lebih disebabkan ketidakrelaan menjual industri strategis kepada investor asing. Semangat nationalist sentiment ini kuat mewarnai penolakan masyarakat atas penjualan saham Semen Padang dalam satu paket grup Semen Gresik kepada Cemex.
Jika memang demikian, kemana pembangunan Indonesia akn dijalankan? Menurut sistem ekonomi Pancasilakah, atau ke sistem ekonomi pasar? Hal yang paling jelas adalah implementasi privatisasi dapat dikatakan tidak benar dan harus adanya peran pemerintah dalam mengatur hal tersebut agar tidak keluar dari jalur yang telah ditetapkan. Di sini ilmu administrasi pembangunan tidak dijalankan sesuai dengan apa yang dikehendaki dan tidak dijalankan seuai dengan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah.
































BAB III
PENUTUP



A. Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat dari makalah ini adalah Privatisasi dalam tubuh BUMN ternyata tidak hanya berdampak positif bagi bangsa Indonesia yaitu terjadinya efisiensi perisahaan negara namun juga berdampak buruk pada pembangunan. Salah satu poin pentingnya adalah akan terjadi PHK yang besar berhubungan dengan kegiatan privatisasi.
kedua adalah adanya kerugian negara yang berdampak pada kemakmuran masyarakat. Pembangunan jangan sampai menyelengsarakan masyarakat tetapi harus bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Peran pemerintah dalam kegiatan privatisasi harus lebih ditekankan karena masyarakat akan tergantung pada regulasi pemerintah.
Adminsitrasi pembangunan di sini tidak diterapkan secara jauh lebih bijak karena administrasi pembangunan dinilai salah langkah dalam mengambil keputusan ini
B. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah walaupun sekarang telah diimplementasikan privatisasi BUMN, namun alangkah lebih baiknya kita mendaur ulang kembali keputusan yang telah ditetapkan. Jika toh tetap dilakukan, peran pemerintah dalam regulasi an pengawsan privatisasi harus gencar dilakukan.










DAFTAR PUSTAKA

Santosa, P. Setyanto.2007. Privatisasi : Penerapan Nasionalisme Pengelolaan BUMN. setyanto@pacific.net.id


________________. 1998. Qua Vadis Privatisasi BUMN.
Prasetiantono, Tony. 2005. Kebimbangan Privatisasi BUMN. www.pse-kp.ugm.ac.id


Kartasasmita, Ginanjar. 1998. Adminsitrasi Pembangunan.

Jibraan, Ahmad. 2007. Privatisasi: Fakta dan Bahayanya. www.gaulislam.com

Supratikno, Hendrawan. 2008. Privatisasi Krakatau Steel. www.okezone.com

Rabu, 02 April 2008

Sony Sugema College (SSC) –janji adalah janji

Sony Sugema College (SSC) –janji adalah janji
oleh DIDI RASDI

Di sini saya akan bercerita tentang kekecewaan kami yang telah bekerja sama dengan salah satu lembaga bimbingan belajar terkemuka di wilayah jawa barat dan sekitarnya. Kami adalah Himpunan Mahasiswa Majalengka (HIMAKA) Purwokerto, dan lembaga bimbingan belajar yang bekerja sama dengan kami adalah Sony Sugema College (SSC) Bandung.

Ada sebuah rasa tertekan jika kami tidak mengeluarkan isi hati kami yang telah dikhianati. Saya rasa semestinya surat ini tidak tercetak, namun saya yakin bahwa dengan begini, suara kami akan di dengar.mohon maaf sebelumnya untuk pihak SSC Bandung, karena mungkin pula dengan begini semuanya akan jelas dan kita sama-sama memperbaiki yang masih kurang dari masing-masing dari kita.

Ceritanya berawal dari kerja sama yang terjalin antara HIMAKA Purwokerto dan SSC Bandung. HIMAKA Purwokerto akan melaksanakan sebuah kegiatan yang memerlukan bantuan dari bimbingan belajar, dan kami percaya bahwa SSC dapat membantu kami. Acara tersebut bertemakan TOP SECRET atau Try Out HIMAKA Purwokerto Succes and Creative. Sebuah acara uji coba SPMB yang ditujukan bagi semua siswa di kabupaten Majalengka. Secara kasat mata acara yang dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2008 di SMAN 1 Majalengka dapat dikatakan berhasil, namun ada beberapa hal yang mengganjal yang terjadi terutama yang berkaitan dengan kerja sama antara kami dan SSC Bandung.

Dengan SSC Bandung kami bekerja sama dalam hal pengadaan soal sebanyak 500 buah, ditambah dengan Lembar Jawaban Tertulis (LJK), hasil TO yang dikirim tidak akan lama, dan pembahasan akan jawaban dari pihak SSC yang langsung terjun ke lapangan.
Untuk yang pertama dan kedua yaitu Soal dan LJK telah kami terima 2 hari menjelang pelaksanaan, namun yang ketiga yaitu pembahasan langsung dari pihak SSC tidak kami dapatkan. Pihak SSC tidak datang untuk pembahasan. Secara otomatis, kami kelimpungan. Disamping karena telah ada janji dengan siswa akan ada pembahasan, namun pihak SSC tidak datang. Dan disinilah kekecewaan kami yang terbesar. Janji dari pihak SSC tidak dipenuhi. Padahal kami telah memenuhi kewajiban kami yaitu membayar uang sesuai dengan kesepakatan.

Bukan hanya itu saja, hasil dari kegiatan tersebut yang dijanjikan hanya beberapa hari, sampai seminggu belum dipenuhi. Sontak para siswa menunggu hasil yang telah mereka kerjakan. Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk hal tersebut karena baru pada sekitar tanggal 3 maret 2008, konfirmasi dari pihak SSC akan melakuan transfer ke alamat email kami. Sebuah kekecewaan yang besar, sementara kami bandingkan dengan acara serupa yang dilaksanakan tahun kemarin dengan pihak bimbingan belajar yang lain, semuanya tidak ada masalah. Baru kali pertama ini kami kecewa terhadap sebuah kerja sama.

Mungkin ini hanya persoalan kecil, namun bagi kami pengingkaran terhadap janji itu adalah kesalahan besar karena dampak yang ditimbulkan sangat besar, menyangkut nama baik kami dimata siswa dan sekolah yang ada di kabupaten Majalengka. Sekali lagi kami mohon maaf atas semua yang telah kami rasakan yaitu kekecewan, mungkin ke depan kita dapat melakukan kerja sama yang jauh lebih baik. Terima kasih

Didi Rasdi
DPO HIMAKA Purwokerto
lima_bahasa@yahoo.co.id
Jl. Cendrawasih Gg. Kutilang No.3 Grendeng Purwokerto Utara 53122

Ketika Pengawas Tak Lagi Keras

Ketika Pengawas Tak Lagi Keras
( Tragedi Pencoreng Jiwa Jaksa Agung Penjaga Negeri )
Oleh: Didi Rasdi

Sungguh sebuah ironi memang ketika sesuatu yang kita percaya tak lagi dapat dipercaya. Mungkin tak ada lagi kebenaran yang akan kita perjuangkan, karena lembaga peradilan telah buta oleh sebuah masakan. Hal yang sungguh tidak dapat kita mengerti namun terjadi kini. Seseorang yang kita percaya untuk bertindak malah bertindak kearah negative, sebuah kezhaliman. Dimana kini sebuah perjuangan diperjuangkan? Hanya kekecewaan.

Pagi tadi (3/3/08) sebuah cerita beredar. Dan sangat mengganggu bagi kita semua sebagai warga masyarakat yang tentunya tahu akan hukum. Tapi saya kira orang yang tidak tahu hukum pun akan sinis mendengar berita yang begitu mengagetkan tersebut. Berita ditangkapnya ketua penyidik dana Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) Urip Tri Gunawan di Jakarta. Sesuatu yang agaknya kurang pas untuk untuk di dengar dan dirasakan. Apalagi Beliau yang notabene adalah jaksa agung yang diberikan sebuah tanggung jawab yang sangat besar.

Padahal akhir-akhir ini marak diberbagai media bahwa aliran dana BLBI harus segera diselesaikan agar negara tidak menanggung kesalahan tersebut. Uang yang dipakai kan juga uang rakyat. Jaksa agung Urip Tri Gunawan disinyalir mendapatkan dana sebesar Rp.6,1 Milyar. Sebuah nominal yang menggiurkan memang untuk seorang pejabat tinggi sekalipun. Dalam sebuah berita sempat diulas bahwa kejadian tersebut adalah sebab dari gaji yang kurang bagi pejabat. Apakah itu semua benar? Padahal dalam sebuah teori dikatakan bahwa uang hanyalah salah satu faktor yang dapat memotivasi seseorang untuk bergerak. Mungkin, di Indonesia uang adalah poin terpenting untuk bergerak.

Saya sempat bertanya dalam hati. Berapa sih gaji seorang jaksa agung tindak pidana khusus? Apakah masih kurang untuk makan sehari tiga kali. Ataukan masih kurang untuk bayar uang SPP anak di sekolah dan universitas? Hanya jaksa agung yang mungkin dapat memberikan komentarnya. Dana 6,1 Milyar kalau untuk membayar hutang negara ke lembaga donor mungkin akan sedikit membantu.

Untuk pertama kalinya-insya Allah sekali ini saja-semua jaksa diberikan sebuah pedang yang menusuk sampai ke ulu hati. Sesuatu yang sangat berat. Sebuah cobaan yang sangat luar biasa dasyat. Mencoreng nama besar jaksa agung terutama tindak pidana khusus.

Saya teringat dalam sebuah novel karya Brown. Dalam novel tersebut menceritakan sebuah ungkapan khas. Ketika kita diawasi oleh seorang pengawas, lalu siapa yang mengawasi pengawas tersebut? Nampaknya semua elemen harus di awasi seperti anak kecil agar tidak berbuat macam-macam. Agar patuh akan hukum yang dibuatnya sendiri. Agar rakyat kembali percaya ditengah ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah.

Agaknya korupsi memang tidak pernah pandang bulu. Orang yang diberikan tugas menyelidiki pun tidak lepas dari korupsi. Korupsi memang telah mendarah daging di Indonesia. Kapankah pengawas bisa keras? Mungkin lain kali.


Atas nama bangsa yang tengah berperang mengatas namakan bangsa,
Kaki gunung Slamet,
4 Maret 2008
Didi Rasdi
.

Lapindo, Masyarakat Muak Denganmu Kini!!

Atraksi yang hebat di tahun 2006 silam. Ledakan alam nan menjadikan Indonesia gempar. Tak heran bahwa Indonesia waktu itu telah kehilangan berbagai keperawanan yang ada di alam. Yaps. Setelah bencana gempa bumi yang terjadi di Yogya tahun 2005 dan Tsunami Aceh tahun yang sama, kini tinggal Lapindo yang belum ada akhirnya. Lapindo adalah sebuah luapan lumpur alam yang berada di perut bumi yang entah itu sengaja atau tidak keluar menyumbul ke permukaan. Kini telah hampir 21 bulan semenjak kemunculannya, namun belum ada hasil yang maksimal bagi penanganan yang dilakukan.

Untuk penanganan luapan tersebut, pemerintah menyerahkan kekuasaan kepada sebuah lembaga penanganan lumpur lapindo (BPLS). Namun, hasil yang diberikan belum banyak mengingat permasalahanpun begiru besar. Masalah lumpur ini sebetulnmya bukan hanya datang dari lembaga bentukan pemerintah tersebut tapi juga pada ganti rugi dan kesejahteraan rakyat yang di tumpang tindihkan baik itu oleh Lapindo selaku pengebor dan pemerintah.

Yang lebih bisa kita maklumi adalah kinerja badan penanganan lumpur lapindo karena telah melakukan yang terbaik diantaranya membuat bendungan agar meminimalisir dampak buruk yang akan terjadi. Namun, sepertinya kita tidak dapat mentorerir apa yang telah dilakukan PT Lapindo Brantas kepada masyarakat luas yang menyebabkan bencana ini terjadi.

Hal tersebut yang tidak sepantasnya kita maafkan, bencana telah terjadi dan apa reaksi dari Lapindo kini? Sebuah pengalihan pertanggungjawaban. Bangsat!! Hingga kini dampak yang ditimbulkan oleh Lapindo sangat besar bagi masyarakat. Banyak penduduk yang kehilangan tempat untuk berteduh bahkan kehilangan mata pencaharian mereka. Dimana lapindo bergerak? Hanya secuil yang ia lakukan. Setelah peta dampak luapan lumpur yang dituangkan dalam Perpres No. 14/2007, dimana korban yang diberikan tanggungan uang hanyalah desa yang tergenang pada tahun 2007. lalu muncul sebuah persoalan kini, dimana luapan semakin banyak dan hampir menenggelamkan desa yang lain, dan desa lain yang akan menunggu untuk tenggelam.

Peta perluasan dampak lumpur Lapindo harus diselesaikan. Karena hal tersebut akan membantu korban yang lain. Peta yang baru akan mencangkup tiga desa yang saat ini terkena dampak lumpur. Tiga desa tersebut adalah Mindi, Kedungcangkring, dan Besuki. Apakah semuanya dibantu langsung oleh lapindo Brantas? Ternyata kenyatannya tidak. Semua ganti rugi yang diberikan adalah milik negara, milik uang rakyat.

Dimana lapindo kini? Yang katanya akan bertanggung jawab terhadap kondisi yang hancur berantakan. Mana sebuah tanggapan postif? Sementara rakyat memohon haknya, Lapindo mulai lari dari masalah. Mungkin benar bahwa pemerintah kita terlalu baik kepada para konglomerat, sementara bagi rakyat miskin baik itu terdengar bull shit!!pernyataan kini yang harusnya muncul adalah rakyat telah muak denganmu, Lapindo Brantas!!!

Saya yakin tulisan ini sangat keras terutama bagi Lapindo. Tapi saya berhak untuk bertindak setidaknya untuk sebuah alasan. Sebuah perbuatan yang riil. Tanda tanya akan muncul kemudian, dimana kita para rakyat memegang peranan? Saya rasa hanya diam. Terima kasih Tuhan, doaku untuk para orang tua yang telah rela berbagi tempat tidur dengan orang tua lain, untuk para Ibu yang rela tidak makan untuk anaknya, untuk bapak yang rela berjuang meskipun tanggapan yang disampaikan tidak terdengar sampai atasan, untuk para anak-anak yang telah kehilangan dunia yang indah, dunia hiburan dan pendidikan. Terutama untuk para pejabat yang mungkin sedang kebanjiran order-an. Semoga penderitaan ini bermanfaat.


Kaki gunung Slamet,
4 Maret 2008
Didi Rasdi

Sebuah kado pemikiran untuk KPPI

Pendahuluan

Suatu ketika seorang Bapak setengah baya dari pelosok desa datang ke ibu kota kecamatan untuk mengurus KTP yang akan digunakan untuk mendaftar haji. Tapi, apa yang ia dapatkan? Ia harus sabar menunggu di kantor kecamatan sejak jam delapan hingga jam sepuluh pagi, karena orang yang terbisaa menangani urusan tersebut belum datang. Detik demi detik ia “istiqamah” menanti, akhirnya penantiannya berakhir, seorang datang kepadanya dan memberitahukan bahwa orang yang bisaa menangani pembuatan KTP hari itu berhalangan hadir. Besok pagi, ia harus datang lagi. “this is a key sentences” ujar Bapak itu dalam hati.
Indiahono, dalam Reformasi Birokrasi Amplop: mungkinkan?

Sebuah bangsa pasti berkembang, baik dalam hal intern sebuah bangsa maupun berhubungan dengan kondisi ekstern bangsa tersebut. Perkembangan sebuah bangsa pun dialami oleh bangsa yang telah 62 tahun merdeka, Indonesia. Indonesia mengalami pasang surut perkembangan dan yang paling mendasar adalah setelah jatuhnya sebuah peradaban tak beradab bernama orde baru. Lahirnya orde reformasi setelah orde baru kontan membuat bangsa yang tadinya pasif untuk cenderung aktif dalam memperbaiki apa-apa yang salah dan kurang baik. Salah satu hal sentral yang dirubah adalah pada sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh orde baru adalah lebih bersifat sentralistik dimana kendali pusat atau control center berada pada pusat pemerintahan yaitu Jakarta. Dengan kondisi demikian adanya sebuah keterkengkangan dari daerah untuk dapat berinteraksi sendiri mengatur daerahnya. Akhirnya orde reformasi dapat merubah hal tersebut dengan ditandainya Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Sistem yang semula sentralistik kemudian berubah menajdi desentralisasi. Mulai Januari 2001, melalui UU No.22 dan 25 tahun 1999 mengubah dirinya menjadi negara yang desentralis, yang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah/kota serta provinsi untuk mengelola kebutuhan dan kepentingan mereka (Samodra Wibawa,2006).
Desentralisasi atau orang lebih mengenal otonomi daerah menurut Rondinelli dan Cheema (1983) adalah perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintah serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Dengan demikian adanya pembagian sebagian urusan dari pusat ke daerah. Namun bukan secara mutlak karena urusan yang menyangkut masalah bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain diserahkan kepada pusat (Deputi Bidang Polhankam Bappenas).
Dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 tidak serta merta berdampak positif, namun juga berdampak negatif sehingga dibuatlah peraturan yang baru yaitu UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Peraturan yang baru ini mencangkup hal-hal yang luas sekali tentang daerah. Tidak terkecuali hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan publik. Hal tersebut dikarenakan tugas dari pemerintah adalah melayani kepentingan rakyat. Bukan hanya semata-mata adalah abdi dalem dari sang presiden seperti jaman orde baru.
Pelayanan publik sendiri didefinisikan secara teoritis menurut Dwiyanto (2005 (ed), 2005: 141-145) adalah sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksud menurutnya di sini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sebagainya.
Dengan pengertian tersebut telah jelas bahwa pemerintah disamping mengatur urusan yang berhubungan dengan ekonomi, harus pula mementingkan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah jembatan antara birokrasi dan warga negaranya. Namun tidak seperti itu keadaan yang sebenarnya terjadi dilapangan dimana pelayanan yang diberikan tidak berpihak pada publik melainkan pada birokrasi. Aparat birokrasi memang sangat diharapkan memiliki jiwa pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Dan yang diandalkan mampu mengubah citra "minta dilayani", menjadi "melayani" (Deddy Mulyadi,2007) . Yang terjadi dilapangan kita sering mendengar istilah birokrasi di Indonesia yang berbelit-beli, lama, dan dengan proses yang panjang. Sebagai contoh pelayanan yang diberikan oleh BKCKB kabupaten Banyumas tentang pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Salah seorang warga mengakui bahwa untuk membuat KTP beliau menunggu sampai 3 bulan (Nizar,dkk, tahun 2006). Sehingga patutlah kita sebut bahwa birokrasi masih minta dilayani ketimbang melayani.
Pelayanan KTP saja memakan waktu sampai 3 bulan di Banyumas. Bagaimana dengan pelayanan yang diberikan pada sektor lain? Sektor investasi yang merupakan pilar bupati baru dalam membangun pemerintahan apakah aparat telah siap dalam menghadapi berbagai bentuk investor terutama yang berkaitan dengan pelayanan sektor investasi di Banyumas? Mengingat pada tahun 2007 saja Banyumas masuk dalam kategori daerah yang pro terhadap investasi (Sindo,30 Juni 2007).
Bukan hanya itu, banyumas adalah sebuah daerah yang menerapkan sistem perizinan satu atap yang berujung pada pembentukan Kantor Palayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) pada tanggal 17 desember 2002 dengan dikeluarkannya Perda Nomor. 10 tahun 2002. Pada tahun 2006 Banyumas melalui investasinya telah mencatat kenaikan Rp181,124 miliar lebih. ”Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 74,7% dibandingkan tahun 2005,”katanya. Sedang dilihat dari jumlah pengusaha, juga mengalami peningkatan. Tercatat pada 2006 mengalami kenaikan 56,18% atau terdapat 380 perusahaan. Surat izin yang dikeluarkan juga bertambah menjadi 3.128 buah atau naik 88,43% (Sindo, 30 Juni 2007). Dengan adanya hal tersebut apakah sudah benar bahwa pelayanan sektor investasi telah efektif diterapkan di Banyumas? Lalu seperti apakah Alternatif yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pelayanan publik terutama sektor investasi di Banyumas?






Pembahasan

”Waktu itu saya mengurus IMB ke dinas tata kota. Pas di sana, saya bilang sama stafnya supaya IMB saya diberesin. Pokoknya kalau masalah duit tinggal bilang aja berapa. Sore-sore si petugas datang ke rumah, katanya habisnya Rp 250.000,00. besok paginya saya cek ke kantor pemda, pengen tahu berapa sebenarnya habisnya. Kata orang di sana sih biaya resminya Cuma Rp 155.000,00. makanya pas si staf itu datang lagi ke rumah, saya kasih aja Rp.205.000,00. itu sudah termasuk uang transfor Rp 50.000,00. pertamanya sih petugas sempak nolak, tapi terakhirnya mau juga. Yah, saya mau ngomong apa lagi , memang gitu koq kalau urusannya mau lancar”.
Agus Dwiyanto,dkk dalam Reformasi birokrasi publik

Pelayanan publik diibaratkan sebagai sebuah proses, dimana ada orang yang dilayani, melayani, dan jenis dari pelayanan yang diberikan. Sehingga kiranya pelayanan publik memuat hal-hal yang subtansial yang berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh swasta. Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi segala kebutuhan masyarakat, sehingga dapat dibedakan dengan pelayanan yang dilakukan oleh swasta (Ratminto, 2006).
Sebagai contoh adalah pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang diberikan oleh pihak kepolisian dan dimonopoli oleh satu pihak. SIM tidak boleh dikeluarkan oleh lembaga lain termasuk swasta. Sehingga pelayanan yang seperti itu dengan ciri dimonopoli oleh pemerintah disebut pelayanan publik.
Namun, dalam perjalanannya ternyata pelayanan publik menemui berbagai macam rintangan yang menghadang. Salah satunya adalah paradigma birokrasi yang cenderung untuk minta dilayani ketimbang melayani. Hal tersebut mengakibatkan berbagai persoalan (Singgih Wiranto,2006) seperti berbelit-belit, tidak efektif dan efisien, sulit dipahami, sulit dilaksanakan, tidak akurat, tidak transparan, tidak adil, birokratis, tidak profesional, tidak akuntabel, keterbatasan teknologi, keterbatasan informasi, kurangnya kepastian hukum, KKN, biaya tinggi, polarisasi politis, sentralistik, tidak adanya standar baku dan lemahnya kontrol masyarakat. Sedangkan telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dimana rakyat atau warga Negara adalah focus dari pelayanan.
Pelayanan publik sendiri terdiri dari berbagai bentuk pelayanan yang diberikan oleh Negara. Pelayanan publik dapat berupa pelayanan di bidang barang dan jasa (Ratminto,2006). Pelayanan dibidang jasa seperti penyediaan bahan baker minyak yang dilakukan oleh Pertamina, dan beras yang diurus oleh Badan Usaha Logistik (BULOG). Sedangkan dalam porsi jasa dapat berupa jasa perizinan dan investasi yang sekarang ini sedang marak untuk dikaji dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik itu akademisi maupun praktisi.
Kenapa investasi bisa semakin marak? Mengingat Indonesia adalah Negara kaya namun kurang mendapatkan tempat dihati para investor. Hal tersebut terbukti dengan peringkat Indonesia yang masih diatas seratus dalam kategori pro investasi karena proses yang panjang. Lihat tabel 1.
Tabel 1 Peringkat Negara yang mudah untuk dimasuki investor

No Negara Peringkat
1 Selandia Baru 1
2 Singapura 2
3 AS 3
4 Hongkong 7
5 Jepang 10
6 Thailand 20
7 Malaysia 21
8 RRC 91
9 Vietnam 99
10 Filipina 113
11 Indonesia 115
Sumber: Jawa Pos, 3 Maret 2006
Dari data diperoleh sebuah gambaran investasi Indonesia yang masih jauh dari kategori baik. Dalam hal investasi kita tertinggal jauh dengan Vietnam-sebuah Negara yang baru melek dari penjajah. Bahkan dengan tetangga Negara kita sendiri yaitu Malaysia dan Singapura. Hal tersebut dikarenakan perizinan kita yang lama, proses yang lama, berbelit-belit dan mahal. Bandingkan dengan pelayanan perizinan yang diberikan oleh pemerintahan Thailand. Lihat tabel 2.
Tabel 2 Perandingan Prosedur dan waktu pengurusan investasi antara Indonesia dan Thailand

No. Deskripsi Indonesia Thailand
1. Izin bisnis baru 12 prosedur/97 hari
19 prosedur/224 hari
52 prosedur/576 hari
10 prosedur/30 hari
34 prosedur/570 har
Pengurusan lisensi
Pembayaran pajak
Dokumen impor
Penegakkan kontrak
2.
3.
4.
5. 8 prosedur/33 hari
9 prosedur/127 hari
46 prosedur/104 hari
12 prosedur/22 hari
26 prosedur/425 hari
Sumber: Bank dunia dalam Nahadi dan Djoko
Dengan demikian pantaslah jika Indonesia tertinggal oleh negara-negara berkembang yang ada di wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut berdampak pada iklim investasi di daerah dimana pelayanan yang diberikan masih jauh dari harapan. Sebagai contoh adalah Banyumas. Salah satu wilayah yang pro investasi. Di bawah arahan Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) wilayah Banyumas masuk dalam kategori daerah yang pro terhadap investasi, terbukti dengan masuknya Banyumas menjadi 10 besar daerah yang pro investasi. KPPI sendiri terbentuk karena dikeluarkannya Perda No.10 tahun 2002. Dengan tujuan mewujudkan pelayanan perizinan dan investasi yang efektif, efisien, wajar dan rasional sehingga dapat diwujudkan pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat/lokasi untuk kepentingan pengurusan beberapa perizinan.
Dengan diberlakukannya pelayanan satu tempat atau One Stop Service (OSS) apakah telah dapat memperbaiki kualitas pelayanan terhadap perizinan. Seperti yang kita ketahui bahwa dengan adanya sistem OSS tersebut tidak serta merta masalah pelayanan perizinan yang berbelit-belit dan panjang akan terhapus. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan. 1)terkadang isntitusi-institusi yang digabungkan dalam dalam satu kantor bukan berarti pemangkasan birokrasi. Publik harus tetap melalui meja-meja yang “sama” dengan sbelumnya. Bedanya jika dulu “meja-meja” lokasinya berbeda sekarang “jadi satu kantor “. 2). Orang-orang yang berada dikantor pelayanan satu atap yang “mewakili” institusinya tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menetapkan keputusan yang mendesak dalam hal pelayanan. Sehingga lagi-lagi si “publik” harus menunggu atasan “pelayan” dikantor tersebut, dalam memebrikan keputusan. Sehingga kantor inipun gagal mencapai tujuan awal yaitu efisiensi (Indiahono,2006).
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa OSS saja tanpa memaknainya malah akan menambah masalah bagi daerah terutama untuk Banyumas. KPPI sendiri adalah sebuah badan untuk meng-acc hal-hal yang telah dibuat oleh dinas atau badan lain.sebagai contoh (Suara Merdeka,2005) adalah pada tahun 2005 Pertumbuhan investasi di Banyumas beberapa tahun terakhir ini tergolong pesat. Pada tahun ini sampai Juni lalu, investasi di sektor perdagangan, jasa, dan properti dari investor lokal dan luar daerah yang bergulir Rp 64 miliar.
Angka itu dihitung berdasar pengajuan izin gangguan lingkungan ke Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) serta telah mengantongi SIUP dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Dinas Koperasi dan UKM. Dengan adanya pelayanan yang sangat banyak untuk mendirikan usaha seperti contoh di atas dalam hal ini berarti OSS belum bias maksimal mengingat beberapa pelayanan masih di urusi oleh dinas/kantor/lembaga lain selain KPPI.
Persoalan pun bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak yang harus dibenahi karena untuk menjadi yang terbaik harus dimulai dari kita sendiri dalam hal ini inisiatif dari dalam lembaga. Komitmen dari KPPI sendiri menjadi sebuah makanan yang harus ditelan dan dicerna. Komitmen tersebut dapat dilihat dari kesesuaian antara peraturan dan kondisi lapangan. Banyak dari dinas/kantor/lembaga pemerintah yang mengindahkan hal tersebut. Akhirnya kepastian waktu penyelesaian dan biaya menjadi tidak jelas.
Hal seperti itu harus diantisipasi sejak dini mengingat rakyat masih membutuhkan pelayanan yang baik yang diberikan oleh pemerintah karena pemerintah memonopoli pelayaan yang menyangkut rakyat banyak. Komitmen dalam melayani telah berhasil dibuktikan oleh pemerintah Kabupaten Purbalingga yang mendapat sertifikasi ISO 9001:2000 yang merupakan manajemen mutu pelayanan (Suara Merdeka,2006). Dapatkah pemerintah Banyumas menerapkan sistem yang sama atau malah lebih hebat dari Purbalingga? Kita tunggu aksinya.
Sebuah alternative yang dapat dilakukan untuk berbenah bagi KPPI adalah penggunaan sebuah sistem yang menggunakan partisipasi masyarakat sehingga pelayanan akan berada pada dua arah. Antara pelanggan dan yang melayani. Dalam berbagai referensi sistem itu disebut Citizen Charter atau Service Charter.
Istilah Citizen Charter (CC)atau kontrak pelayanan pertama kali diperkenalkan oleh Osborne dan Plastrik (1997). Citizen Charter (CC) adalah standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan aspirasi dari pelanggan, dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Citizen Charter (CC) merupakan sebuah pendekatan dalam meneyelenggarakan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan atau pelanggan sebagai pusat perhatian. Dalam hal ini, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pelayanan (AG. Subarsono,2006)
Dengan kontrak pelayanan berarti ada sebuah komitmen antara pelanggan dan yang melayani. Dalam hal ini akan ada sebuah kesepakatan baik itu mengenai pelayanan, prosedur, waktu penyelesaian, maupun biaya yang ditanggung oleh pelanggan. Dengan demikian ada sebuah kesepahaman antara hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebagai contoh penerapan model sederhana dari Citizen Charter lihat kotak 1.
Kotak 1 Model Chitizen Charter

Kotak 1
Kontrak Pelayanan Akta Kelahiran
Di Pemerintahan Kota Yogyakarta

· Penyelesaian dan penerbitan akta kelahiran adalah 3 hari kerja, terhitung sejak diterimanya berkas persyaratan
· Biaya pelayanan akta kelahiran adalah Rp 10.000,- bagi WNI dan Rp 30.000,- bagi WNA
· Standar sapaan petugas kepada pengguna layanan adalah sebagai berikut.”selamat pagi/siang Bapak/Ibu, apa yang dapat kami bantu?”
· Standar respon petugas pelayanan dalam menerima telpon dari pengguna layanan adalah.” Selamat pagi/siang, apa yang dapat kami bantu?’
· Pengguna layanan dapat mengajukan keluhan, keberatan atau protes apabila pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
· Pengguna layanan akan mendapat jawaban resmi atas keluhan yang diajukan tersebut paling lambat dalam waktu 2 hari terhitung sejak keluhan diterima oleh petugas
· Setiap kesalahan atau catat pada produk pelayanan akta kelahiran yang diakibatkan kesalahan teknis dari pihak penyedia layanan , maka penyedia layanan akan memperbaharui produk tersebut tanpa memungut biaya lagi.

Sumber: leaflet Pemerintahan kota Yogyakarta bekerjasama dengan PSKK UGM dan The Foed Foundation,2003 dalam Agus Dwiyanto:2006)

Dengan adanya kontrak pelayanan yang disodorkan oleh pelayanan, maka ada sebuah ikatan untuk bisa lebih baik lagi dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat karena paradigma pelayanan sekarang adalah berfokus pada warga negara. Namun perlu diketahui bahwa ada beberapa syarat untuk menggunakan sistem kontrak pelayanan (Indiahono, 2006):
1. kesepakatan dan komitmen internal institusi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi warga negara. Sehingga visi kontrak pelayanan merupakan pemahaman bersama seluruh elemen institusi pelayanan dan bersama-sama pula mencapai visi tersebut
2. kontrak pelayanan dibuat dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki institusi pelayanan
3. dalam merancang kontrak pelayanan sejauh mungkin melibatkan stakeholder yang berkaitan dengan jenis pelayanan yang diadakan
4. sosialisasi









Penutup

”sebuah akhir bukan berarti akan berakhir”
Didi Rasdi

Telah banyak disinggung bahwa pelayanan adalah sesuatu yang sakral dan sangat berpengaruh terhadap aktivitas setiap orang. Dengan demikian harus ada kejelasan antara orang yang melayani dan dilayani. Dalam iklim investasi di daerah, tentunya saat ini kita akan berjumpa dengan kantor yang melayani perizinan. Terutama di daerah Banyumas yang telah menjadi 10 besar kabupaten yang pro terhadap investasi. Namun tidak semua daerah yang telah baik dalam penerapan pelayanan perizinan dan investasi.
Di Banyumas sendiri perlu dilakukan beberapa alternatif untuk merubah pelayanan menjadi lebih baik. Tiga poin yang dapat dilaksanakan adalah:
1. perubahan paradigma dari para birokratnya, dimana paradigma :dilayani” untuk dapat diganti dengan ”melayani” karena pada hakekatnya pejabat publik adalah pelayan terhadap rakyat bukan sebaliknya.
2. sistem One Stop Service (OSS) yang telah berjalan di Banyumas setidaknya dikaji lebih dalam supaya peran dari KPPI selaku loket perizinan dapat strategis sehingga semua urusan dapat langsung menuju ke KPPI tidak berbelit-belit.
3. penerapan Citizen Charter di KPPI sehingga adanya kontrak antara pelayan dan yang dilayani. Dengan demikian setiap pihak tahu akan hak dan kewajiban yang ada dipundaknya.
Tentunya dalam tulisan ini hanya sebatas sebuah ide untuk membuat pelayanan menjadi lebih baik terutama dapat diterapkan di Banyumas-kota tercinta. Semoga bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA

Cheema, G. Shabbir and Dennis Rondinelli (ed).1983. Decentralization And Development: Policy Implementation In Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publication
Deputi bidang polhankamnas.(tt). Pelayanan Publik Di Era Desentralisasi:Studi Tentang Variasi Cakupan Dan Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik. Artikel
Dwiyanto, Agus (ed). 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Dwiyanto, Agus,dkk.2006. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wibawa, Samodra dalam Agus Dwiyanto (ed).2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Indihono, Dwiyanto. 2006. Reformasi Birokrasi Amplop: Mungkinkah?. Yogyakarta: Gava Media
Nahadi, Bin dan Djoko Retnadi. 2006. Membangun Investasi Ala Thailand. Investor daily. Oktober 2006
Ratminto dan Atik Septi Winarsih.2006. Manajemen Pelayanan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Singgih Wiranto. Reformasi birokrasi dalam pelayanan publik. 26 Nopember 2006
www.suaramerdeka-online.com tanggal 2 Maret 2006,akses tanggal 24 Maret 2008.
www.suaramerdeka-online.com tanggal 6 Juli 2005 akses tanggal 24 Maret 2008
www.koransindo.co.id tanggal 26 Juni 2007 akses tanggal 24 Maret 2008